0
[Kenangan] Tentang, Mama. (bag. 2)
Posted by @misraaichaa
on
17.56
Akhirnya
tibalah Saya dimasa-masa sulit. Saya sudah harus masuk kantor. Kembali
beraktifitas. Saya melihat kondisi Mama sudah sedikit tenang, walaupun belum
menunjukkan progres membaik. Saat itu, apabila Mama berbicara, kata-kata keluar
dengan susah payah dan agak sulit dimengerti. Saya duduk di samping kepala Mama
yang sedang terbaring. Mengusap-usap lembut kepala Mama yang terbaring lemah. Saya
berbicara, meskipun Saya tahu mungkin sulit bagi Mama untuk mengetahui apa yang
Saya ucapkan. Saya menjelaskan bahwa Saya harus kembali masuk kerja, ke kantor
dimana waktu Saya lulus dan harus mengurus kelengkapan berkas, Mama menemani Saya.
Di saat orang lain datang sendirian, Saya ditemani Mama Saya tercinta. Dan
entah keajaiban atau apa, setelah Saya berbicara, Mama dapat menjawab “Iya.
Kantor”. Saya langsung saja menangis. Suara Mama terdengar jelas walaupun
terpatah-patah. Saya hampir saja membatalkan keberangkatan Saya ke Makassar
untuk kembali beraktifitas. Namun, support dari orang-orang terdekat, keluarga,
membuat Saya mau tidak mau harus berangkat. Bapak memberi Saya nasehat, bahwa Saya
harus melihat di luar sana, betapa banyak orang yang masih sibuk mencari
pekerjaan, Saya harus bersyukur karena Alhamdulillah sudah bekerja di tempat
yang sekarang dengan cara bekerja dengan baik. Mama di sini banyak yang
menjaga. Ada banyak keluarga dan lain-lain. Kita hanya bisa berusaha mengobati
dan berdoa agar kesehatan Mama membaik. Namun, kita juga harus menyerahkan
segalanya kepada Maha Pencipta. Dia yang menjadikan ada dan Dia pula yang tahu
entah kapan ciptaanNYA diambil.
Dilema
terbesar dalam hidup Saya. Orang tua Saya sedang sakit keras, Mama. Dan Bapak
menasehati agar kembali ke kantor, bekerja dengan baik, dan lakukan untuk Mama
yang sudah mensupport Saya selama ini sehingga Saya berada di tempat yang
sekarang.
Suasana
berubah haru. Semua orang yang ada di rumah Saya saat itu hanya bisa menangis.
Tidak terkecuali, pun Saya. Siapapun pasti tidak akan pernah berharap berada di
kondisi seperti Saya saat itu. Dilema. Sangat dilema. Dan akhirnya, Saya pun
memutuskan untuk berangkat kembali ke Makassar untuk kembali bekerja keesokan
harinya.
Saya
langsung memeluk Mama, menciuminya wajahnya berkali-kali. Dan juga menciumi
kaki beliau, kaki yang selama ini telah melangkah banyak menuntun kami semua.
Kaki yang kelak menjadi surga bagi kami, anak-anaknya. Entah bgaimana, namun
perasaan yang Saya rasakan campur aduk. Saya hampir menyalahkan diri Saya
sendiri yang bekerja dan tinggalnya jauh dari orang tua, namun disisi lain, Saya
bersyukur atas semua nikmat ini. Saya membayangkan 5 tahun silam, ketika
pengumuman kelulusan Saya di Kementerian ini, Saya diterima menjadi pegawai.
Dan saat itu, saking bahagianya, Mama dan Bapak tanpa fikir panjang lagi,
langsung menuju Makassar dan kami berpelukan menangs terharu. Mama yang
membantu dan menemani Saya mengurusi semua proses pendaftaran Saya yang pada
saat itu adalah hari terakhir. Saya ke kantor-kantor terkait untuk mengurus
surat-surat yang dipersyaratkan. Dari pagi hingga malam hari pukul 19.00 WITA
semua berkas Saya di stempel pos yang letaknya cukup jauh dari rumah. Saya
mengingat semua itu sehingga Saya membulatkan tekad untuk kembali bekerja, Saya
lakukan untuk Mama.
Setibanya di
Makassar, Saya terus menelepon Bapak, adik dan keluarga lainnya, menanyakan
keadaan Mama. Saya gelisah, memikirkan keadaan Mama. Saya memikirkan untuk
kembali mengambil cuti. Untuk dapat merawat Mama. Karena kondisi Mama semakin
drop. Namun Saya juga ragu karena Saya baru saja kembali masuk bekerja.
21
Januari 2015
Sekitar
pukul 05.00 Wita, tante Saya, kakak dari Mama Saya, menelepon. Saya kaget bukan
main. Saya langsung berfikir yang tidak-tidak. Tante Saya menyampaikan dengan
sangat hati-hati. Kurang lebih percakapannya seperti ini .
“Kamu sudah
urus cuti belum?”.
Saya menjwab “Belum, kenapa tante? Mama Saya
kenapa? Bagaimana kabarnya”.
“Kamu jangan
kaget ya, Tapi Saya mau menyampaikan sesuatu. .....”
“Iy, kenapa?
Saya jawab dengan terburu-buru, ingin segera mengetahui keadaan Mama.
“Sejak tadi
malam Mama kamu entah kenapa tidak bisa lagi minum bahkan walaupun menggunakan
sedotan. Responnya berkurang. Bahkan air yang disuapkan melalui sendokpun tidak
tertelan lagi. Jadi, kalau memang memungkinkan kamu untuk mengurus cuti atau
izin kepada pimpinan kamu, supaya sebentar kamu bisa balik untuk melihat
keadaan Mama.” Tante Saya masih berbicara dengan tenang. Mungkin berusaha
tenang, untuk menenangkanku.
“iya tente,
baik. Saya akan ke kantor lebih cepat pagi ini untuk mengurus semuanya.”
Setelah
telepon ditutup, Saya berfikir, mungkin Bapak tidak sanggup menyampaikan ini ke
Saya jadi meminta tolong tante Saya yang mengabari. Saya panik dan langsung
menangis. Suami hanya bisa menenangkan Saya dan menyarankan Saya tetap berfikir
jernih dalam keadaan seperti ini. Saya lalu Shalat dan berdoa untuk Mama.
Sayapun ke
kantor jauh lebih awal dari biasanya. Saya lalu mengetik surat cuti.
Teman-teman Saya mulai berdatangan juga satu per satu. Dan, menjelang apel
pagi, telepon Saya berbunyi lagi, dan tanpa menunggu lama Saya angkat dan
ternyata dari kakak Saya.
“kamu
dimana? Bagaimana cutinya? Bisa cuti lagi tidak?”
“Saya belum
coba, tapi Saya sedang mengetik. Mudah-mudahan bisa karena ini cuti di tahun
yang berbeda lagi.”
“ooh iya,
kamu usahakan dapat izin dulu dari pimpinan baru bisa pulang kesini untuk
melihat kondisi Mama.”
“iya.”
Saya lalu
me-print surat cuti Saya. Dan belum sampai 5 menit lagi, kakak Saya kembali
menelepon. Nada suaranya masih tenang, namun,
“Halo. Hm...
sepertinya walaupun kamu tidak dapat cuti atau izin, kamu harus pulang sekarang
juga”
“Kenapa? Mama
kenapa?”
“Tidak
apa-apa, hanya saja kondisi Mama semakin drop.”
“Jangan
bohong, Mama kenapa? “
“tidak
apa-apa. Mama masih disini. Kami semua disini menjaga Mama”
“baik. Saya
pulang sekarang juga”.
Saya
langsung menandatangani permohonan cuti, dan menitipkan kepada teman. Minta
tolong diajukan kepada pimpinan, soalnya Saya harus pulang sekarang karena
kondisi Mama sangat drop. Keadaan
sekarang emergency,. Saya bersyukur teman-teman Saya baik dan mengerti hal ini,
jadi untuk selanjutnya teman Saya yang membantu.
Saya lalu
meminta tolong diantar suami Saya ke terminal untuk mencari mobil umum menuju
kampung halaman Saya. Suami Saya tidak bisa ikut pulang karena sedang mengajar
untuk semester baru, dan sudah banyak izin dari kemarin-kemarin untuk menemani Saya
menjaga Mama. Keluarga juga cukup mengerti, sehingga hanya Saya sendiri yang
pulang.
Jarak tempuh
biasanya 3,5 jam. Dan Saya rasakan ini 3,5 jam terlama dalam hidupku. Saya
hanya ingin cepat-cepat tiba dirumah.
Setelah menempuh
perjalanan, tibalah Saya di rumah. Setelah duduk sebentar, Saya menghampiri Mama.
Seluruh tubuh Saya langsung lemas. Kondisi Mama lebih drop dibandingkan
sebelumnya. Saya terus duduk disampingnya. Mencoba meneteskan obat setetes demi
setetes. Namun benar yang dikatakan tante Saya, Mama sudah tidak merespon
apapun. Perasaan Saya hancur. Melihat kondisi Mama yang tidak berdaya. Saya menciumi
Mama. Membelai lembut rambutnya. Wajahnya. Berharap Mama merasakan support
melalui sentuhan-sentuhan yang Saya berikan di wajah cantiknya. Kami memberi
dukungan moriil. Membacakan ayat-ayat Al Qur’an, membisikkannya. Semua cara
kami lakukan. Obat dari dokter keluarga masih terus diberikan, menetes dari
selang infus. Saya masih menggantungkan harapan padaNYA untuk memberikan
kesembuhan untuk Mama. Sepanjang malam, Saya masih tetap di sisi Mama, masih
melakukan hal yang sama.
Bulukumba, 22 Januari 2015
Bulukumba, 22 Januari 2015
Pada pagi
hari, semua yang terjadi terasa aneh. Belakangan, kami sadari semua adalah
firasat. Adik Saya hendak berangkat ke tempat kerja. Tante Saya pun menegur “Kamu
mau kemana? Jangan kemana-mana dulu, sebelum kamu menyesal nantinya.”. adik Saya
menjawab “iya tante Saya ke tempat kerja dulu sebentar, nanti Saya balik lagi.”
Tidak lama
kemudian, Bapak meminta izin juga, akan keluar sebentar untuk mencari obat
untuk Mama. Bapak berangkat bersaman paman Saya. Belakangan diketahui bahwa Bapak
sejak kemarin handphone Bapak rusak dan paman Saya tidak membawa handphone. Pada
saat Bapak hendak berangkatpun, tante Saya bilang “Mau kemana?”. Bapak menjawab
“Saya mau keluar sebentar, mencari obat untuk istri Saya. Saya masih yakin
istri Saya bisa sembuh.”. Saya pun masih
terus optimis dan terus meyakinkan diri Mama masih bisa sembuh.
Saya masih
terduduk di samping Mama. Masih terus melakukan hal yang sama. Meneteskan obat,
mengusap lembut wajah Mama dan mengajak ngobrol berharap semua cerita Saya
masih terdengar olehnya. Berharap sugesti-sugesti yang Saya berikan
tersampaikan dan menjadi support untuk keembuhan Mama. Namun, tiba-tiba tante Saya
datang, dan berkata “Kamu mandi dulu, siapa tahu sebentar kamu sudah tidak
sempat lagi untuk mandi.”
Namun Saya
masih menolak, Saya tidak mau meninggalkan Mama. Saya tetap disamping Mama.
Tidak lama
kemudian, tante Saya datang dan meminta untuk gantian menjaga Mama. “Kamu
kedalam dulu, nanti Saya yang jaga Mama kamu.” Kata tante Saya sambil mengambil
Al Qur’an. Seperti biasa, tante akan mengaji, berdoa untuk kesembuhan Mama.
Tidak lama
berselang, mertua Saya datang. Saya mengajak ngobrol. Mertua Saya masuk ke
kamar Mama, menanyakan perkembangan kondisi Mama. Dan sementara itu tante Saya
ke dapur untuk memasak sebentar.
Pada saat Saya
ngobrol bersama ibu mertua, di samping Mama, tiba-tiba ada respon diwajah Mama,
seperti bergerak. Saya panik. Ibu mertua
Saya meminta untuk membalik badan Mama, yang tadinya menyamping jadi telentang.
Ibu mertua Saya terus membisikkan shalawat dan syahadat. Saya panik. Saya berlari
memanggil tante dan saudara-saudara Saya. Meminta mereka menghubungi Bapak. Saya
memijat bagian kaki Mama, berfikir untuk tetap melancarkan peredaran darah
ditubuhnya. Sambil terus mengucap shalawat dan syahadat. Hal yang sama
dilakukan oleh ibu mertua Saya. Begitu juga saudara-saudara Saya.
Tidak lama
kemudian, bibir Mama bergetar seperti mengucap sesuatu namun tidak ada suara. Hanya
getaran saja. Dan tante Saya berkata. “Masih ada..” dan terus menuntun Mama
mengucap syahadat dan shalawat. Mengucapkan di telinga Mama. Dan, yang terakhir
kali Saya melihat, Mama Saya melihat kearah atas dan tiba-tiba matanya
terpejam. Tangis tante Saya pun pecah. Mengucapkan kata yang saat itu bagaikan
petir yang tiba-tiba menyambar Saya “Innalillahi Waa Innailaihi Rajiun”. Semuanya
terjadi begitu cepat, Saya masih belum mengerti. Masih tidak bisa menerima
kenyataan. Saya memanggil adik ipar Saya dan meminta untuk mengukur tekanan
darah, namun jawabnya “Mama telah tiada, kak.” Air mata Saya mengalir begitu
saja. 3 orang saudara Saya pun demikian. Keluarga-keluarga yang lain menenagkan
kami. Dan, Saya masih berharap ini hanyalah mimpi buruk. Saya belum siap menerima
kenyataan bahwa Mama telah tiada.
Selang-selang
infus pun telah dicabut. Namun Saya masih disamping Mama, memeriksa keadaan Mama.
Berharap masih ada hembusan nafas. Berharap yang terjadi adalah sebaliknya,
dimana Mama semakin membaik. Namun semua sia-sia. Keluarga memindahkan posisi Mama
ke ruan tengah, namun Saya tidak melihat Mama merespon, bahkan dengan respon
kesakitan sekalipun. Namun, Saya masih belum bisa meyakinkan diri Saya bahwa
benar Mama telah tiada.
Semua perkataan-perkataan
tante Saya dan semua yang terjadi sejak pagi, ternyata mengisyaratkan firasat,
yang baru kami sadari setelahnya. Tante Saya pun, berkata demikian entah
bagaimana. Ia bukan peramal apapun atau semacamnya. Saya berkesimpulan, Yang
Diatas telah mengatur semuanya. Bapak tidak di sisi Mama pada saat
menghembuskan nafas terakhir karena tidak ingin melihat Bapak terlalu hanyut
dalam kesedihan sepeninggalnya nanti. Begitu juga dengan 2 adik Saya yang
lainnya.
Saya diminta
mengabari keluarga-keluarga terdekat, kerabat, teman, dll. Beberapa kali Saya
menelepon Bapak dan paman Saya karena sampai sekarang belum pulang. Saya tidak
bisa membayangkan bagai mana perasaan Bapak Saya dan dua orang adik Saya pulang
dan melihat tanda kain putih yang dipasang di depan rumah kami.
Adik Saya
yang sempat ke tempat kerja sudah
pulang. Adik Saya yang masih sekolah pun datang dan menangis sejadi-jadinya. Ia
adik bungsu kami. Yang selama ini tinggal bersama orang tua kami disaat kami
yang lainnya berada jauh dari orang tua untuk keperluan pekerjaan dan kuliah. Dan
yang paling terakhir, Bapak datang. Wajah Bapak berbeda dari biasanya. Ada sesuatu
yang beliau sembunyikan. Tangis, kesedihan. Hanya ingin terlihat tegar di mata
anak-anaknya. Saya menenangkan Bapak namun Bapak hanya membalas “iya nak, Bapak
tidak apa-apa. Kita harus ikhlas, pasrahkan semua kepada Yang Diatas.”
Keluarga,
kerabat, teman, datang silih berganti, bahkan teman sekantor Saya pun jauh-jauh
datang dari makassar untuk melayat dan mengantarkan kepergian Mama hingga di
peristrahatan terakhir.
Saya ikut
memandikan jenazah Mama. Beserta tante, adik Saya dan juga mertua adik Saya. Disitu
Saya baru bisa meyakinkan diri, benar, Mama telah tiada. Kami memandikan Mama,
namun tidak ada respon. Mama tidak merasakan kedinginan. Saya harus bersabar
dan menerima kenyataan ini.
Setelah dimandikan,
dikafani dan dishalatkan, Bapak, Saya dan saudara Saya ikut juga mengantarkan
jenazah Mama ke peristrahatan terakhir. Sepanjang jalan, Saya memeluk jenazah Mama
dan mengucapkan ayat-ayat Al Qur’an dan mendoakan Mama. Rasanya tidak tega
melihat Mama dikuburkan. Saya jadinya tidak mau beranjak dari sisi kubu Mama. Namun
suami, saudara dan teman-teman Saya menasehati Saya untuk bersabar, ikhlas dan
menerima kenyataan.
Malam harinya,
kami mengadakan takziah, hingga hari ke tiga kepergian Mama. Dan di hari ketiga
kepergian Mama, tangis kesedihan Bapak pun pecah. Kesdihan yang memuncak tidak
dapat dibendung lagi. Saya hanya bisa menenangkan Bapak, agar tidak terlarut
dalam kesedihan.
Tiada lagi raga Mama yang Saya peluk setiap
bertemu. Tiada lagi tangan Mama yang Saya salami dan Saya ciumi. Tiada lagi
suara Mama yang sering Saya dengar, yang meskipun jauh, setiap hari Saya selalu
berkomunikasi dengan orang tua walau hanya melalui telepon. Tiada lagi Mama
secara ragawi, namun Mama selalu ada di hati. Tempat yang tidak akan pernah bisa
digantikan oleh apapun dan siapapun.
Saya merasa,
jarak Mama dengan kami semakin dekat. Sedekat jarak kening dan sajadah kami
untuk bersujud padaNYA mendoakan untuk keselamatan akhirat Mama. Semoga Mama diSayangi
olehNYA, diampuni segala dosa-dosa dan khilafnya, semua amalan baiknya bernilai
ibadah di sisiNYA, diterangi dan dilapangkan kuburnya, dan ditempatkan di
surgaNYA bersama orang-orang mukmin lainnya. AAMIIN.
Selamat Jalan Mamaku Sayang. Doa kami selalu menyertai... Terimakasih atas semua jasa-jasa selama ini, yang tiada mungkin kami balas dengan apapun. Hanya doa yang selalu kami berikan untuk Mama... Baik-baik disana, Ma...
in Memoriam,
Innalillahi Waa Innailaihi Rajiun.
Andi Hasmawati Santingan, S.Pd.
Bulukumba, 03 Maret 2964 - Bulukumba, 22 Januari 2015
Selamat Jalan Mamaku Sayang. Doa kami selalu menyertai... Terimakasih atas semua jasa-jasa selama ini, yang tiada mungkin kami balas dengan apapun. Hanya doa yang selalu kami berikan untuk Mama... Baik-baik disana, Ma...
in Memoriam,
Innalillahi Waa Innailaihi Rajiun.
Andi Hasmawati Santingan, S.Pd.
Bulukumba, 03 Maret 2964 - Bulukumba, 22 Januari 2015

Makassar, 22 Desember 2015.