0

[Kenangan] Tentang, Mama. (bag. 2)

Posted by @misraaichaa on 17.56
Akhirnya tibalah Saya dimasa-masa sulit. Saya sudah harus masuk kantor. Kembali beraktifitas. Saya melihat kondisi Mama sudah sedikit tenang, walaupun belum menunjukkan progres membaik. Saat itu, apabila Mama berbicara, kata-kata keluar dengan susah payah dan agak sulit dimengerti. Saya duduk di samping kepala Mama yang sedang terbaring. Mengusap-usap lembut kepala Mama yang terbaring lemah. Saya berbicara, meskipun Saya tahu mungkin sulit bagi Mama untuk mengetahui apa yang Saya ucapkan. Saya menjelaskan bahwa Saya harus kembali masuk kerja, ke kantor dimana waktu Saya lulus dan harus mengurus kelengkapan berkas, Mama menemani Saya. Di saat orang lain datang sendirian, Saya ditemani Mama Saya tercinta. Dan entah keajaiban atau apa, setelah Saya berbicara, Mama dapat menjawab “Iya. Kantor”. Saya langsung saja menangis. Suara Mama terdengar jelas walaupun terpatah-patah. Saya hampir saja membatalkan keberangkatan Saya ke Makassar untuk kembali beraktifitas. Namun, support dari orang-orang terdekat, keluarga, membuat Saya mau tidak mau harus berangkat. Bapak memberi Saya nasehat, bahwa Saya harus melihat di luar sana, betapa banyak orang yang masih sibuk mencari pekerjaan, Saya harus bersyukur karena Alhamdulillah sudah bekerja di tempat yang sekarang dengan cara bekerja dengan baik. Mama di sini banyak yang menjaga. Ada banyak keluarga dan lain-lain. Kita hanya bisa berusaha mengobati dan berdoa agar kesehatan Mama membaik. Namun, kita juga harus menyerahkan segalanya kepada Maha Pencipta. Dia yang menjadikan ada dan Dia pula yang tahu entah kapan ciptaanNYA diambil.

Dilema terbesar dalam hidup Saya. Orang tua Saya sedang sakit keras, Mama. Dan Bapak menasehati agar kembali ke kantor, bekerja dengan baik, dan lakukan untuk Mama yang sudah mensupport Saya selama ini sehingga Saya berada di tempat yang sekarang.

Suasana berubah haru. Semua orang yang ada di rumah Saya saat itu hanya bisa menangis. Tidak terkecuali, pun Saya. Siapapun pasti tidak akan pernah berharap berada di kondisi seperti Saya saat itu. Dilema. Sangat dilema. Dan akhirnya, Saya pun memutuskan untuk berangkat kembali ke Makassar untuk kembali bekerja keesokan harinya.

Saya langsung memeluk Mama, menciuminya wajahnya berkali-kali. Dan juga menciumi kaki beliau, kaki yang selama ini telah melangkah banyak menuntun kami semua. Kaki yang kelak menjadi surga bagi kami, anak-anaknya. Entah bgaimana, namun perasaan yang Saya rasakan campur aduk. Saya hampir menyalahkan diri Saya sendiri yang bekerja dan tinggalnya jauh dari orang tua, namun disisi lain, Saya bersyukur atas semua nikmat ini. Saya membayangkan 5 tahun silam, ketika pengumuman kelulusan Saya di Kementerian ini, Saya diterima menjadi pegawai. Dan saat itu, saking bahagianya, Mama dan Bapak tanpa fikir panjang lagi, langsung menuju Makassar dan kami berpelukan menangs terharu. Mama yang membantu dan menemani Saya mengurusi semua proses pendaftaran Saya yang pada saat itu adalah hari terakhir. Saya ke kantor-kantor terkait untuk mengurus surat-surat yang dipersyaratkan. Dari pagi hingga malam hari pukul 19.00 WITA semua berkas Saya di stempel pos yang letaknya cukup jauh dari rumah. Saya mengingat semua itu sehingga Saya membulatkan tekad untuk kembali bekerja, Saya lakukan untuk Mama.

Setibanya di Makassar, Saya terus menelepon Bapak, adik dan keluarga lainnya, menanyakan keadaan Mama. Saya gelisah, memikirkan keadaan Mama. Saya memikirkan untuk kembali mengambil cuti. Untuk dapat merawat Mama. Karena kondisi Mama semakin drop. Namun Saya juga ragu karena Saya baru saja kembali masuk bekerja.

 21 Januari 2015
Sekitar pukul 05.00 Wita, tante Saya, kakak dari Mama Saya, menelepon. Saya kaget bukan main. Saya langsung berfikir yang tidak-tidak. Tante Saya menyampaikan dengan sangat hati-hati. Kurang lebih percakapannya seperti ini .
“Kamu sudah urus cuti belum?”.
 Saya menjwab “Belum, kenapa tante? Mama Saya kenapa? Bagaimana kabarnya”.
“Kamu jangan kaget ya, Tapi Saya mau menyampaikan sesuatu. .....”
“Iy, kenapa? Saya jawab dengan terburu-buru, ingin segera mengetahui keadaan Mama.
“Sejak tadi malam Mama kamu entah kenapa tidak bisa lagi minum bahkan walaupun menggunakan sedotan. Responnya berkurang. Bahkan air yang disuapkan melalui sendokpun tidak tertelan lagi. Jadi, kalau memang memungkinkan kamu untuk mengurus cuti atau izin kepada pimpinan kamu, supaya sebentar kamu bisa balik untuk melihat keadaan Mama.” Tante Saya masih berbicara dengan tenang. Mungkin berusaha tenang, untuk menenangkanku.
“iya tente, baik. Saya akan ke kantor lebih cepat pagi ini untuk mengurus semuanya.”

Setelah telepon ditutup, Saya berfikir, mungkin Bapak tidak sanggup menyampaikan ini ke Saya jadi meminta tolong tante Saya yang mengabari. Saya panik dan langsung menangis. Suami hanya bisa menenangkan Saya dan menyarankan Saya tetap berfikir jernih dalam keadaan seperti ini. Saya lalu Shalat dan berdoa untuk Mama.

Sayapun ke kantor jauh lebih awal dari biasanya. Saya lalu mengetik surat cuti. Teman-teman Saya mulai berdatangan juga satu per satu. Dan, menjelang apel pagi, telepon Saya berbunyi lagi, dan tanpa menunggu lama Saya angkat dan ternyata dari kakak Saya.
“kamu dimana? Bagaimana cutinya? Bisa cuti lagi tidak?”
“Saya belum coba, tapi Saya sedang mengetik. Mudah-mudahan bisa karena ini cuti di tahun yang berbeda lagi.”
“ooh iya, kamu usahakan dapat izin dulu dari pimpinan baru bisa pulang kesini untuk melihat kondisi Mama.”
“iya.”
Saya lalu me-print surat cuti Saya. Dan belum sampai 5 menit lagi, kakak Saya kembali menelepon. Nada suaranya masih tenang, namun,
“Halo. Hm... sepertinya walaupun kamu tidak dapat cuti atau izin, kamu harus pulang sekarang juga”
“Kenapa? Mama kenapa?”
“Tidak apa-apa, hanya saja kondisi Mama semakin drop.”
“Jangan bohong, Mama kenapa? “
“tidak apa-apa. Mama masih disini. Kami semua disini menjaga Mama”
“baik. Saya pulang sekarang juga”.

Saya langsung menandatangani permohonan cuti, dan menitipkan kepada teman. Minta tolong diajukan kepada pimpinan, soalnya Saya harus pulang sekarang karena kondisi Mama sangat drop. Keadaan sekarang emergency,. Saya bersyukur teman-teman Saya baik dan mengerti hal ini, jadi untuk selanjutnya teman Saya yang membantu.

Saya lalu meminta tolong diantar suami Saya ke terminal untuk mencari mobil umum menuju kampung halaman Saya. Suami Saya tidak bisa ikut pulang karena sedang mengajar untuk semester baru, dan sudah banyak izin dari kemarin-kemarin untuk menemani Saya menjaga Mama. Keluarga juga cukup mengerti, sehingga hanya Saya sendiri yang pulang.

Jarak tempuh biasanya 3,5 jam. Dan Saya rasakan ini 3,5 jam terlama dalam hidupku. Saya hanya ingin cepat-cepat tiba dirumah.

Setelah menempuh perjalanan, tibalah Saya di rumah. Setelah duduk sebentar, Saya menghampiri Mama. Seluruh tubuh Saya langsung lemas. Kondisi Mama lebih drop dibandingkan sebelumnya. Saya terus duduk disampingnya. Mencoba meneteskan obat setetes demi setetes. Namun benar yang dikatakan tante Saya, Mama sudah tidak merespon apapun. Perasaan Saya hancur. Melihat kondisi Mama yang tidak berdaya. Saya menciumi Mama. Membelai lembut rambutnya. Wajahnya. Berharap Mama merasakan support melalui sentuhan-sentuhan yang Saya berikan di wajah cantiknya. Kami memberi dukungan moriil. Membacakan ayat-ayat Al Qur’an, membisikkannya. Semua cara kami lakukan. Obat dari dokter keluarga masih terus diberikan, menetes dari selang infus. Saya masih menggantungkan harapan padaNYA untuk memberikan kesembuhan untuk Mama. Sepanjang malam, Saya masih tetap di sisi Mama, masih melakukan hal yang sama.

Bulukumba, 22 Januari 2015

Pada pagi hari, semua yang terjadi terasa aneh. Belakangan, kami sadari semua adalah firasat. Adik Saya hendak berangkat ke tempat kerja. Tante Saya pun menegur “Kamu mau kemana? Jangan kemana-mana dulu, sebelum kamu menyesal nantinya.”. adik Saya menjawab “iya tante Saya ke tempat kerja dulu sebentar, nanti Saya balik lagi.”

Tidak lama kemudian, Bapak meminta izin juga, akan keluar sebentar untuk mencari obat untuk Mama. Bapak berangkat bersaman paman Saya. Belakangan diketahui bahwa Bapak sejak kemarin handphone Bapak rusak dan paman Saya tidak membawa handphone. Pada saat Bapak hendak berangkatpun, tante Saya bilang “Mau kemana?”. Bapak menjawab “Saya mau keluar sebentar, mencari obat untuk istri Saya. Saya masih yakin istri Saya bisa sembuh.”.  Saya pun masih terus optimis dan terus meyakinkan diri Mama masih bisa sembuh.

Saya masih terduduk di samping Mama. Masih terus melakukan hal yang sama. Meneteskan obat, mengusap lembut wajah Mama dan mengajak ngobrol berharap semua cerita Saya masih terdengar olehnya. Berharap sugesti-sugesti yang Saya berikan tersampaikan dan menjadi support untuk keembuhan Mama. Namun, tiba-tiba tante Saya datang, dan berkata “Kamu mandi dulu, siapa tahu sebentar kamu sudah tidak sempat lagi untuk mandi.”
Namun Saya masih menolak, Saya tidak mau meninggalkan Mama. Saya tetap disamping Mama.
Tidak lama kemudian, tante Saya datang dan meminta untuk gantian menjaga Mama. “Kamu kedalam dulu, nanti Saya yang jaga Mama kamu.” Kata tante Saya sambil mengambil Al Qur’an. Seperti biasa, tante akan mengaji, berdoa untuk kesembuhan Mama.

Tidak lama berselang, mertua Saya datang. Saya mengajak ngobrol. Mertua Saya masuk ke kamar Mama, menanyakan perkembangan kondisi Mama. Dan sementara itu tante Saya ke dapur untuk memasak sebentar.

Pada saat Saya ngobrol bersama ibu mertua, di samping Mama, tiba-tiba ada respon diwajah Mama, seperti bergerak. Saya  panik. Ibu mertua Saya meminta untuk membalik badan Mama, yang tadinya menyamping jadi telentang. Ibu mertua Saya terus membisikkan shalawat dan syahadat. Saya panik. Saya berlari memanggil tante dan saudara-saudara Saya. Meminta mereka menghubungi Bapak. Saya memijat bagian kaki Mama, berfikir untuk tetap melancarkan peredaran darah ditubuhnya. Sambil terus mengucap shalawat dan syahadat. Hal yang sama dilakukan oleh ibu mertua Saya. Begitu juga saudara-saudara Saya.

Tidak lama kemudian, bibir Mama bergetar seperti mengucap sesuatu namun tidak ada suara. Hanya getaran saja. Dan tante Saya berkata. “Masih ada..” dan terus menuntun Mama mengucap syahadat dan shalawat. Mengucapkan di telinga Mama. Dan, yang terakhir kali Saya melihat, Mama Saya melihat kearah atas dan tiba-tiba matanya terpejam. Tangis tante Saya pun pecah. Mengucapkan kata yang saat itu bagaikan petir yang tiba-tiba menyambar Saya “Innalillahi Waa Innailaihi Rajiun”. Semuanya terjadi begitu cepat, Saya masih belum mengerti. Masih tidak bisa menerima kenyataan. Saya memanggil adik ipar Saya dan meminta untuk mengukur tekanan darah, namun jawabnya “Mama telah tiada, kak.” Air mata Saya mengalir begitu saja. 3 orang saudara Saya pun demikian. Keluarga-keluarga yang lain menenagkan kami. Dan, Saya masih berharap ini hanyalah mimpi buruk. Saya belum siap menerima kenyataan bahwa Mama telah tiada.

Selang-selang infus pun telah dicabut. Namun Saya masih disamping Mama, memeriksa keadaan Mama. Berharap masih ada hembusan nafas. Berharap yang terjadi adalah sebaliknya, dimana Mama semakin membaik. Namun semua sia-sia. Keluarga memindahkan posisi Mama ke ruan tengah, namun Saya tidak melihat Mama merespon, bahkan dengan respon kesakitan sekalipun. Namun, Saya masih belum bisa meyakinkan diri Saya bahwa benar Mama telah tiada.

Semua perkataan-perkataan tante Saya dan semua yang terjadi sejak pagi, ternyata mengisyaratkan firasat, yang baru kami sadari setelahnya. Tante Saya pun, berkata demikian entah bagaimana. Ia bukan peramal apapun atau semacamnya. Saya berkesimpulan, Yang Diatas telah mengatur semuanya. Bapak tidak di sisi Mama pada saat menghembuskan nafas terakhir karena tidak ingin melihat Bapak terlalu hanyut dalam kesedihan sepeninggalnya nanti. Begitu juga dengan 2 adik Saya yang lainnya.

Saya diminta mengabari keluarga-keluarga terdekat, kerabat, teman, dll. Beberapa kali Saya menelepon Bapak dan paman Saya karena sampai sekarang belum pulang. Saya tidak bisa membayangkan bagai mana perasaan Bapak Saya dan dua orang adik Saya pulang dan melihat tanda kain putih yang dipasang di depan rumah kami.

Adik Saya yang sempat ke tempat kerja  sudah pulang. Adik Saya yang masih sekolah pun datang dan menangis sejadi-jadinya. Ia adik bungsu kami. Yang selama ini tinggal bersama orang tua kami disaat kami yang lainnya berada jauh dari orang tua untuk keperluan pekerjaan dan kuliah. Dan yang paling terakhir, Bapak datang. Wajah Bapak berbeda dari biasanya. Ada sesuatu yang beliau sembunyikan. Tangis, kesedihan. Hanya ingin terlihat tegar di mata anak-anaknya. Saya menenangkan Bapak namun Bapak hanya membalas “iya nak, Bapak tidak apa-apa. Kita harus ikhlas, pasrahkan semua kepada Yang Diatas.”

Keluarga, kerabat, teman, datang silih berganti, bahkan teman sekantor Saya pun jauh-jauh datang dari makassar untuk melayat dan mengantarkan kepergian Mama hingga di peristrahatan terakhir.
Saya ikut memandikan jenazah Mama. Beserta tante, adik Saya dan juga mertua adik Saya. Disitu Saya baru bisa meyakinkan diri, benar, Mama telah tiada. Kami memandikan Mama, namun tidak ada respon. Mama tidak merasakan kedinginan. Saya harus bersabar dan menerima kenyataan ini.

Setelah dimandikan, dikafani dan dishalatkan, Bapak, Saya dan saudara Saya ikut juga mengantarkan jenazah Mama ke peristrahatan terakhir. Sepanjang jalan, Saya memeluk jenazah Mama dan mengucapkan ayat-ayat Al Qur’an dan mendoakan Mama. Rasanya tidak tega melihat Mama dikuburkan. Saya jadinya tidak mau beranjak dari sisi kubu Mama. Namun suami, saudara dan teman-teman Saya menasehati Saya untuk bersabar, ikhlas dan menerima kenyataan.

Malam harinya, kami mengadakan takziah, hingga hari ke tiga kepergian Mama. Dan di hari ketiga kepergian Mama, tangis kesedihan Bapak pun pecah. Kesdihan yang memuncak tidak dapat dibendung lagi. Saya hanya bisa menenangkan Bapak, agar tidak terlarut dalam kesedihan.

 Tiada lagi raga Mama yang Saya peluk setiap bertemu. Tiada lagi tangan Mama yang Saya salami dan Saya ciumi. Tiada lagi suara Mama yang sering Saya dengar, yang meskipun jauh, setiap hari Saya selalu berkomunikasi dengan orang tua walau hanya melalui telepon. Tiada lagi Mama secara ragawi, namun Mama selalu ada di hati. Tempat yang tidak akan pernah bisa digantikan oleh apapun dan siapapun.

Saya merasa, jarak Mama dengan kami semakin dekat. Sedekat jarak kening dan sajadah kami untuk bersujud padaNYA mendoakan untuk keselamatan akhirat Mama. Semoga Mama diSayangi olehNYA, diampuni segala dosa-dosa dan khilafnya, semua amalan baiknya bernilai ibadah di sisiNYA, diterangi dan dilapangkan kuburnya, dan ditempatkan di surgaNYA bersama orang-orang mukmin lainnya. AAMIIN.

Selamat Jalan Mamaku Sayang. Doa kami selalu menyertai... Terimakasih atas semua jasa-jasa selama ini, yang tiada mungkin kami balas dengan apapun. Hanya doa yang selalu kami berikan untuk Mama... Baik-baik disana, Ma...

in Memoriam,
Innalillahi Waa Innailaihi Rajiun.
Andi Hasmawati Santingan, S.Pd.
Bulukumba, 03 Maret 2964 - Bulukumba, 22 Januari 2015




Mama, meskipun Mama telah tiada, namun Saya akan selalu menyayangi Mama. Tidak akan henti rasa Sayang ini dibatasi ruang dan waktu. Saya sayang dan cinta sama Mama.

Makassar, 22 Desember 2015.




0

Rasa

Posted by @misraaichaa on 15.53
Pada hujan yang rinai
Pada angin yang berhembus
Ingin kutitip rasa ini

Pada kecemasan
Pada kebahagiaan
Pada kesedihan
Pada keriangan
Hadirmu tetap terasa, dekat

Pada airmata
Kusadari, kurindu padamu, Mama.

(Mks, 2 Des 15)

0

[Kenangan] Tentang, Mama. (bag. 1)

Posted by @misraaichaa on 09.53
Assalamualaikum Wr. Wb.

Ini adalah posting pertama yang saya tulis di tahun 2015. Sekarang sudah lebih separuh dari tahun sekarang yang telah berjalan. Bukan, saya bukan tak punya waktu untuk menulis. Tapi, entah bagaimana membahasakannya. Tahun ini terlalu sendu buatku. Buat keluarga besarku.

Banyak sudah yang berubah dari tahun sebelumnya. I'm married now. Desember tahun lalu. Namun, belum lagi saya sempat menuliskan kisah-kisah bahagia ini, saya ditampar dengan kenyataan buruk. Kehilangan. Saya kehilangan sosok panutan dan malaikat saya di dunia. Beliau yang kupanggil dengan sebutan, Mama.

Mama sakit.
Menjelang beberapa bulan sebelum hari pernikahan saya, mama masih dalam keadaan sehat wal afiat. Sebagai orang tua, sudah pastilah, sebagian besar urusan pernikahan saya diurus oleh Mama. Walaupun banyak hal juga yang saya urus sendiri. Seperti kata orang-orang banyak, menjelang pernikahan biasanya ada-ada saja cobaannya. Begitu juga dengan yang saya alami. Penyesuaian jadwal, ini itu dsb. Yang tentunya sangat menguras fikiran. Alhamdulillah semuanya berjalan lancar sesuai yang diharapkan.

Sebulan sebelum resepsi, Mama mengeluh sakit di bagian perut. Mama sempat dirawat di rumah sakit setempat dengan diagnosa Maag. Dan kondisi kesehatan menjelang hari H sedikit menurun namun, kebahagiaan pada saat pernikahan saya dapat sedikit mengobati dan menghadirkan kebahagiaan di wajah beliau. 3 hari setelah resepsi, Bapak dan keluarga lainnya merekomendasikan untuk membawa mama berobat di salah satu dokter ahli di Makassar. Berhubung adik saya masih ada yang sekolah, jadi saya dan suami di minta tinggal dirumah untuk menemani, mumpung saya dan suami juga masih dalam keadaan cuti. Jadilah Bapak, Kakak dan Adik saya menemani mama berobat dan setelah berobat hari itu besoknya balik lagi ke Bulukumba.

Kondisi kesehatan mama semakin menurun, tetapi kami sekeluarga tetap berfikir positif dan terus berusaha yang terbaik.

Akhirnya saya harus kembali ke Makassar. Dan keesokan harinya, saya menerima kabar bahwa Mama kembali di rawat di RS setempat. Beberapa kali saya brencana untuk kembali ke kampung halaman untuk menjenguk sekaligus merawat Mama, tapi kedua orang tua melarang dengan alasan kondisi mama sudah membaik dan lagipula baru 2 hari yang lalu saya ke Makassar dan Suami sudah harus kembali bekerja.

Tanggal 22 Des 2014
Hari itu, hari Ibu. Dan seperti biasa, Bukan hanya di hari biasa saya selalu berkomunikasi dengan orang tua, tetapi juga di hari-hari special saya mengirimkan sms ucapan untuk mama.
"Asslm.. Selamat Hari Ibu, Ma..
Terimah kasih atas semuanya selama ini, Ma.
Sampai saya bisa menjadi seperti yang sekarang.
Satu-satunya  harapanku di hari ibu kali ini, Semoga cepatki sembuh, Ma. Sehat-sehat kembali.
Dan beraktifitas kembali seperti semula..
Love you, Mama.."

Ini petikan sms saya kepada mama. Mungkin di kesempatan lain saya bisa mengupload screencapture nya.

Karena sms yang saya kirim sepertinya tidka dibaca dan ternyata handphone mama tidak aktif, saya menelpon Bapak. Dan ngobrol panjang juga dengan Mama. Mengucapkan doa-doa untuk kesembuhan Mama.

Kegelisahan saya semakin menjadi-jadi setelah 2 hari setelahnya Mama masih dirawat di RS. Sayapun pamit kepada suami untuk pulang ke kampung halaman menjenguk dan merawat Mama. Dan yang membuat saya semakin kaget, setelah menempuh perjalanan 3 jam lebih, setibanya dirumah, tante saya menelpon memberi kabar bahwa Mama akan di rujuk ke salah satu RS di Makassar saat itu juga. Saya meng-iya-kan. Demi kesembuhan mama, rasa capek tidak saya perdulikan lagi. ini tidak ada apa-apanya dibandingkan perjuangan Mama untuk saya selama ini.
Akhirnya saya bersama salah satu tante saya (adik dari Mama saya) dan 1 orang petugas RS ikut bersama Mama di Mobil AMbulans menuju Makassar. Sedangkan Bapak dan saudara-saudara saya mengendarai mobil lain.

Sepanjang perjalanan tiada henti mulut dan hati ini berdoa untuk kesembuhan Mama. Tangan saya melingkar di bahu mama yang terbaring lemah, mengusap lembut berharap dapat menenangkan Mama dan menghilangkan rasa sakit. Memeluk Mama yang kesakitan. Sesekali terdengar rintihan Mama menahan sakit. Raut wajah cantiknya saat itu hanya bisa menunjukkan kesakitan yang amat sangat. Sesekali air mataku menetes namun tetap tertahan agar Mama tidak semakin bersedih. Saya harus tetap terlihat kuat di depan Mama. di benak saya hanya ada satu, tiba dengan cepat dan selamat di RS tujuan agar Mama segera mendapat penanganan medis.

Penolakan beberapa rumah sakit yang membuatku kecewa.
Akhirnya kami tiba di RS tujuan. Namun, lagi-lagi kesabaran saya dan keluarga di uji. Pihak RS menolak menerima rujukan RS asal, dengan alasan tidak ada kamar yang kosong. Saya sempat berdebat, menyampaikan bahwa kondisi  Mama sudah semakin melemah, perlu perawatan segera. Namun tetap dengan jawaban yang sama. Dan akhirnya kembali di rujuk ke RS lain. Sekadar gambaran, Mama saya masih menahan sakit dan kondisi di dalam mobil ambulans sangat lemah. Sehingga saya berkeras untuk segera ditangani walaupun hanya di UGD saja untuk sementara, setidaknya ada penanganan serius dari RS.

Saya kembali ke dalam ambulans, Saya memendam kekecewaan. Saya yakin wajah saya saat itu sudah tidak mampu menyembunyikan rasa marah. Kenapa pihak RS tidak segera menangani Mama saya agar segera mendapat perawatan dan pengobatan? Mama tidak berkata apa-apa, tapi matanya menatap saya, membuat saya iba melihat kondisi Mama sekarang. Mama yang dahulu tegar, sehat, kuat, merawat semua anak-anaknya, mengajar murid-muridnya, kini terbaring lemah dan ditolak pihak RS. Air mata saya menetes, namun saya segera menghapusnya. Saya memeluk Mama lagi dan menoleh ketempatlain, menyembunyikan wajah saya yang menggambarkan perasaan saya saat itu.

Akhirnya kami tiba di RS kedua. Perawat disana langsung membawa masuk ke UGD, namun belum ada penanganan serius. Perawat magang/praktik mengecek tekanan darah dan mencatat biodata Mama saya. Setelah itu, datang membawa obat sesuai dengan indikasi yang telah diperiksa. Namun belakangan saya bertanya, ternyata itu 'hanya'lah obat penambah nafsu makan. Berselang waktu, datanglah dokter jaga. Memeriksa secara visual, dan tidak lama kemudian duduk  di mejanya dan memanggil perawat dan menginstruksikan bahwa Mama tidak dapat diberikan perawatan lanjut di RStersebut. Katanya, tidak ada kamar yang kosong. Saya kembali ke tempat tidur Mama. Menyampaikan bahwa kami akan pindah RS lagi ke RS yang dijadikan pusat rujukan, dengan kata lain, walaupun kamar inap tidak tersedia karena penuh. Mama hanya diam, hanya Mata beliau yang mengatakan bahwa beliau sudah lelah. Perjalanan dari RS asal ke kota ini menempuh 2,5 Jam, dimana saat ini sudah seharusnya mama mendapat pengobatan sesegera mungkin namun kenyataannya kami masih berjibaku dengan penolakan-penolakan.

Sehingga, kembali kami harus  menuju RS dan diterima di RS terakhir. Awalnya sempat mengecewakan, karena sebagai PNS, pembayaran asuransi kesehatan Mama sudah pastilah dibayar terus dan pada saat menerima pelayana sangat tidak layak. Mama sebagai PNS golongan IV/b harusnya dirawat di kamar perawatan yang lebih layak dibandingkan dengan kamar yang berisikan 6 orang pasien. See? Bagaimana perlakuan sistem.

Sehari setelahnya, seorang keluarga saya melaporkan hal tersebut dan akhirnya Mama dipindahkan ke kamar perawatan yang setidaknya hanya berisi 4 orang.

Kami terus berada di sisi Mama. Bapak, Kakak, Saya dan Adik serta Tante dan keluarga lainnya secara bergantian menjaga Mama di RS ini. Bahkan terkadang Bapak dan Kakak serta keluarga lainnya hanya beristrahat di dalam mobil yang diparkir dalam parkiran RS karena  untuk menjaga-jaga hal lain yang mungkin terjadi di malam hari.

Semua aktifitas Mama hanya dapat dilakukan di atas tempat tidur ruangan RS ini.

Selama kurang lebih 2minggu Mama di rawat di RS ini. Meskipun pelayanan perawatan atau pengobatannya tidak terlalu memuaskan, namun kami meyakini bahwa tim Medis sudah melakukan yang terbaik.

Beberapa penanganan segera dilakukan. Karena indikasi penyakit dalam.

Beberapa kali Mama harus melakukan proses CT Scan


Hanya berita baik yang saya sampaikan kepada Mama.
Selama di rawat, beberapa kali Mama melewati masa-masa sulit. Di tengah-tengah kekhawatiran, saya tetap optimis Mama bisa sembuh. Setiap kali keadaan Mama memungkinkan, saya selalu mengajak Mama ngobrol sedikit demi sedikit. Menyampaikan berita-berita baik saja. Sebisa mungkin kami tidak memperdengarkan hal yang kurang baik. Support terus kami lakukan. Meyakinkan Mama dapat sembuh. Memberi sugesti-sugesti positif.

Dokter sempat menyampaikan akan di transfusi. Saya sudah menyampaikan ke teman-teman jika saja bank darah RS tidak memiliki persiapan unsur darah yang dimaksud. Dan betul, saya harus ke UTD untuk mencari unsur darah yang akan ditransfusi kedalam tubuh Mama. Saya lupa, unsur darah apa, yang saya ingat waktu itu dokter mengatakan ini untuk memperlancar pembekuan darah yang terjadi ditubuh Mama. Dan Alhamdulillah tersedia di UTD.

Di sini saya mendapatkan unsur darah yang harus di transfusikan

Di tempat duduk saya saat itu berfikir dan mengucapka terima kasih kepada orang-orang yang selalu menyempatkan diri mendonorkan darahnya

Namun masa kritis datang lagi, kesakitan Mama amat sangat terasa. Terlihat Mama kesakitan dan tidak ada tindakan dokter yang mampu meredam kesakitan. Disela-sela rintihan Mama, terdengar bahwa Mama minta dipulangkan ke kampung halaman. Kami berusaha membujuk.agar Mama tetap bertahan dan melanjutkan pengobatan, karena kami masih menyimpan harapan kesembuhan untuk Mama. Namun, pada akhirnya, kami pihak keluarga menyetujui karena Mama terus merintih kesakitan dan mengatakan sudah tidak sanggup lagi menahan ini semua dan tidak kuat lagi. Saya, sebagai orang yang terakhir menyetujui akhirnya mengiyakan karena Mama terus memohon untuk dipulangkan. Saya mengiyakan, iya. Dan setelah itu, pecahlah tangis saya di ruang belakang kamar RS. Saya mengingat, sangat tidak mungkin kondisi Mama yang sekarang untuk menempuh perjalananan kembali ke Kampung halaman. Bukan saya tidak percaya, tetapi kondisi Mama akan semakin lelah. Entah kenapa, kekhawatiran saya saat itu, semakin menjadi-jadi.

Sepanjang perjalanan saya menggenggam tangan Mama. Berdoa yang terbaik untuk Mama. Semua yang terbaik untuk Mama.

I'm belong with you, Ma.. Kangen sama sentuhan tangan ini..
Akhirnya tiba juga di kampung halaman, sudah banyak tetangga dan kerabat dekat yang menanti kedatangan Mama. Mereka berharap Mama pulang dalam keadaan lebih baik dan sehat.


Masa-masa sulit, harus kami lalui. Bersama.
Silih berganti, tetangga, keluarga, dan teman datang menjenguk dan mendoakan kesembuhan Mama. Dirumah. Kenapa dirumah? Sewaktu kami tiba di rumah, kami bertanya kepada Mama. Membujuk beliau agar kembali di rawat di RS daerah kami. Tapi lagi lagi Mama menolak, dan meminta untuk istrahat saja di rumah. Tapi, kami tidak tinggal diam. Kami masih terus berusaha. Memberikan usaha-usaha terbaik. Dokter keluarga pun kami datangkan. Semua pengobatan masih terus kami berikan, walaupun itu hanya kami lakukan di rumah.

Sebisa mungkin kami semua berada di sisi Mama. Sesekali Mama terlihat ingin membalikkan badan, kami membantu membalik badan beliau. Kondisi yang lemah membuat Mama tidak bisa melakukan aktivitas bahkan membalikkan badan sendiri.

Bergantian, saya dan saudara serta keluarga lainnya menyuapi Mama dan memberi minum. Kami sedapat mungkin memenuhi semua kebutuhan dan keinginan Mama. Bahkan sepupu atau keluarga lainnya yang seringkali disebut namanya saat Mama sedang mengigau, kami hubungi dan memintanya datang. Dengan harapan dapat memberi semangat lagi kepada Mama.

Saat itu, status saya di kantor masih dalam keadaan cuti karena melaksanakan pernikahan. Saya sangat bersyukur saat itu dapat menemani hari-hari mama (yang ternyata) di akhir hidupnya. Saya selalu berfikir positif dan berusaha melakukan semua yang kami yakini dapat membuat Mama kembali pulih dan sehat seperti sediakala. (Bersambung)



**********************






(MAMA) ANUGERAH TERINDAH YANG PERNAH KUMILIKI


Melihat tawamu
Mendengar senandungmu
Terlihat jelas di mataku
Warna-warna indahmu


Menatap langkahmu
Meratapi kisah hidupmu
Terlihat jelas bahwa hatimu
Anugerah terindah yang pernah kumiliki


Sifatmu nan s'lalu
Redakan ambisiku
Tepikan khilafku
Dari bunga yang layu

Saat kau disisiku
Kembali dunia ceria
Tegaskan bahwa kamu 
anugerah terindah yang pernah kumiliki


Belai lembut jarimu
Sejuk tatap wajahmu
Hangat peluk janjimu,
Anugerah terindah yang pernah kumiliki
















Copyright © 2009 G A L A X Y All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.