Tentang cinta dan kehilangan
Sepertinya hampir di seluruh akun / media sosial yang saya punya sering saya ceritakan atau gambarkan tentang kebersamaan bersama keluarga. Termasuk bersama orang tua. Termasuk di blog ini pun ada beberapa part yang menceritakan tentang itu.
Baiklah, saya akan sedikit menceritakan bagaimana pertemuan Mama dan Bapak saya sampai akhirnya mereka berdua menikah. Diceritakan kembali seperti yang dikisahkan Mama dan Bapak kepada kami anak-anaknya.
Waktu itu, Bapak masih bertugas di Jeneponto. Entah mau perjalanan ke mana - sampai saat ini saya sering lupa menanyakannya, yang saya tau tujuan akhirnya ke Bantaeng, Bapak lalu menumpang bus yang lewat di depan kantornya. Nah, di bus itu sudah ada Mama saya bersama ponakannya, dari Ujung Pandang dengan tujuan ke Bulukumba. Menurut cerita Bapak, di situ beliau sudah tertarik sama Mama. Namun belum sempat ngobrol banyak, hanya sempat menanyakan mau ke mana, dan dijawab tidak begitu detail oleh Mama. Hingga akhirnya Bapak harus turun duluan karrna sudah tiba di tempat tujuan.
Saat itu Bapak menyadari sudah jatuh cinta sama gadis yang berambut panjang yang beliau temui di bus. Kata Bapak beliau memang suka liat wanita kalau rambutnya panjang, anggun. Beliau memutuskan ke Bulukumba beberapa waktu kemudian. Tanpa berbekal informasi apapun, beliau terus mencari tau keberadaan Mama. Sempat juga beliau ke pangkalan bus yang ia tumpangi saat itu, menanyakan alamat Mama atau turun di mana ia saat itu. Dan ternyata turunnya di persimpangan menuju rumah nenek saya yang jaraknya masih lumayan jauh. Di tengah pencariannya, bapak mendapat informasi bahwa yang ia cari adalah salah satu anak bangsawan yang cukup disegani di daerah itu. Banyak yang nakut-nakutin Bapak karena kenyataannya memang begitu. Kakek saya galak. Matikkk. Hahahahaha...
Tapi semangat bapak tidak luntur, beliau masih terus mencari keberadaan Mama. Dalam hatinya bilang kenapa mesti takut sedangkan saya berniat baik, tidak ada ssma skali niat jahatnya. Singkat cerita, bapak minta pindah mutasi ke Kab. Bulukumba. Katanya biar lebih mudah meneruskan pencariannya. Bucin juga yaa.. seberjuang itu beliau.
Hingga suatu hari, ketika Bapak lagi jaga pos, temannya di depan pos menghentikan seorang penge dara motor yang berboncengan tapi salah satunya tidak pake helm. Mama saya yang mengendarai motornya dan membonceng adiknya, tante saya. Bapak saya yang mengamati dari dalam pos jaga, langsung buru-buru keluar pos dan katanya, langsung memegang tangan Mama sambil bilang: “Alhamdulillah, ini yang selama ini saya cari”. Mama otomatis menarik tangannya dan masih terheran-heran, mungkin karena sudah lupa. Dan, mungkin rasanya ngeri juga diperlakukan bgtu sama orang asing. Hahahaha... Bukan muhrim pak. Akhirnya Bapak ngajak Mama ngobrol entah apa dan long story short Bapak menemui keluarga Mama yang kata orang galakkkkkk bgtttttt. Hahahahha... (Bersyukurnya saya, orang tua saya tidak seperti itu).
Akhirnya mereka pun menikah. Dan memiliki 8 orang anak. Memang penuh cinta yaa... (ngakak). Sayangnya, anak pertama mereka yang kembar, kedua-duanya meninggal dunia sesaat sejak dilahirkan. Dan anaknya hingga saat ini masih ada 6 orang.
MAMA.
Lahir di Bulukumba, tanggal 3 Maret 1964. Beliau berprofesi sebagai guru SD. Mama saya mungkin yang sering digambarkan orang sebagai ibu yang sempurna. Seluruh kebutuhan anaknya diurusin. Tapi, tidak juga sepenuhnya memanjakan anak. Kami juga diajar mandiri. Sampai kakak saya yang notabene adalah cowok, dan 2 adek saya yang cowok juga jago atau bisalah memasak.
Saya pribadi, merasa selalu disupport dalam hal apapun. Termasuk, pada saat saya memutuskan untuk memilih jurusan yang belum pernah ada yg memilih di keluarga kami pun, Mama mengantarkan saya ke Makassar. Karenaaaa... saya masih takut jalan sendirian. Di tengah-tengah suara keluarga yang lain yang bilang saya harus menjadi penerus Mama untuk jadi seorang guru, Mama tampil di depan. Juga, sewaktu saya mau menikah dan keluarga menanyakan bibit bebet bobot calon suami saya waktu itu, Mama bersama Bapak pastinya juga membackup saya. Alhamdulillah, meski tinggal di daerah dan boleh dibilang keluarga lainnya yang masih bagaimana-bagaimana, saya bersyukur memiliki orang tua seperti Mama dan bapak saya.
Untuk urusan lainnya, Entah bagaimana caranya Mama bisa menghandle semuanya. Contohnya, kalau lebaran, kue-kue yang bisa sampai banyak macam itu dibikin sendiri. Ya, walaupun kadang-kadang saya dan adek ikut bantu menghias juga. Beda banget sama saya, kue lebaran selalu beli. Tidak pernh bikin sendiri.
Ada banyak kenangan tentang mama. Menggambarkan tentang mama, pastinya tidak jauh berbeda jika menggambarkan seorang pahlawan. Pahlawan dengan pesona khas, yang anggun. Cantik. Beliau cantik, luar dan dalam.
Hingga akhirnya, mama divonis suatu penyakit yang lumayan berbahaya. Yang paling terpukul selain kami anak-anaknya, pastilah Bapak. Segala upaya kami usahakan untuk kesembuhan Mama. Termasuk membujuk untuk melakukan operasi, yang sayangnya, menurut dokter sudah terlambat dan efeknya tidak terlalu signifikan untuk kesembuhan karena sudah bermetastase ke organ tubuh lainnya. Saya yang pada dasarnya termasuk orang yang lumayan optimis, terus menguatkan. Searching obat obatan dari yang tradisional sampai yang kimia. Hingga pernah ada fase di mana kondisi Mama mulai membaik. Walaupun sakitnya atau efek lanjutnya masih terus menghantui. Nah, di saat itulah menjelang pernikahan saya. Banyak juga cobaan-cobaan jelang pernikahan, yang bukan berasal dari saya dan calon suami saat itu, tapi lebih ke kepala-kepala masing-masing pihak keluarga. Dan lagi-lagi, orang tua saya yang tampil membantu menyelesaikan semuanya.
Sebulan sebelum saya menikah, Mama jatuh sakit. Dan menjalani perawatan di rumah sakit namun sempat membaik dan mengikuti segala prosesi pernikahan saya dan suami. Raut bahagianya seolah membuat Mama lupa akan kesakitannya. Saya tau, meski mama sama sekali tidak pernah menekankan atau mengutarakan keinginannya untuk segera melihat saya menikah, tapi saya tau itu. Karenaaa... orang tua mana yang tidak mau kalau anaknya segera menikh. Begitulah kira-kira. Meski akhirnya kenyataan pahit harus kami jalani dengan ikhlas karena beliau meninggal dunia sebulan setelah pernikahan saya.
Cerita lengkapnya pernah saya tuliskan di:
Tentang Mama (1)
Tentang Mama (2)
Tau tidak, ada satu hal yang boleh dibilang masih membebani saya hingga saat ini. Yaitu ketika dulu saya sempat mencuri dengar percakapan keluarga saya yang bilang kasihan karena kecapean ngurusin pernikahan anaknya sampai mama saya meninggal. Rasanya ingin bilang: “eh, Bambang, kalau memang kejadiannya seperti itu, dan kalau saya tau sejak awal bahwa Mama saya akan meninggal setelah saya menikah, mungkin jika bisa memilih, saya lebih baik memilih untuk tidak anu seumur hidup, jika saja Mama saya masih bisa hidup hingga saat ini”. Tapi kan hidup tidak berjalan demikian. Dan memang hidup kadang se-bercanda itu. Kita belum bisa benar-benar merasakan hidup kalau belum pernah dibecandain sama hidup itu sendiri.
BAPAK
Lahir di Enrekang, 01 Januari 1957. Sosok yang seperti bapak-bapak pada umumnya. Tegas. Namun, sangat sangat sangat penyayang. Sosok pemimpin yang menurut saya bukan hanya baik kepada anak buah dikantornya tapi juga teladan bagi kami. Yang saya salut, bapak saya tidak tau merokok. Hahahahahaaa..
Saya selalu ingat bagaimana bapak selalu mengantar-jemput saya di sekolah ketika saya “pindah sementara”. Padahal saya tau kesibukan beliau juga luar biasa. Meski kadang juga saya harus pulang sendiri naik becak.
Enaknya dekat sama bapak itu, salah satunya kalau minta uang jajan selalu dikasi lebih. Beda sama Mama yang memang sudah diatur sedemikian rupa kuota jajannya. Dari Bapak jugalah, sejak kecil saya sedikit belajar tentang pekerjaan bapak. Saya suka baca buku-buku yang beliau bawa pulang dari diklat. Walaupun waktu itu sama skali saya tidak berkeinginan kerja di bidang yang sama. Karenaaaaa.... saya mau jadi dokter.
Sewaktu memutuskan akan kuliah di luar kota dan hidup sendiri, bapak mengajak saya duduk berdua, dan di situ saya banyak diberi wejangan atau nasehat dari beliau. Salah satu yang paling penting yaitu tentang kejujuran.
Bapak adalah sosok yang kalau sering saya baca itu, family man. Selalu mengutamakan keluarganya. Dan, yang saya salut, feeling bapak selalu kuat. Dan denga mudah menganalisa keadaan. Sudah beberapa kali saya mengalami hal itu. Perhatian juga kepada anak-anaknya. Boleh dibilang sejak hidup terpisah karena saya kuliah di luar kota, tiada hari tanpa komunikasi bersama beliau, dan mama. Hingga sampai saat ini, kita terus berusaha komunikasi setiap hari.
Kepada Mama, Bapak sangat sangat memperlakukan Mama dgn baik. Penyayang, cenderung bucin. Hahahahaha... maapppp pak. Itulah kenapa, ketika Mama meninggal, bapak sangat terpukul.
Jika ada orang yang mungkin tidak pernah melihat Bapaknya rapuh atau bahkan menangis, saya pernah. Kapan itu? Sewaktu Mama menghembuskan nafas terakhir? Bukan. Bapak bahkan tidak di samping Mama ketika itu. Bapak waktu itu masih optimis untuk kesembuhan Mama sampai beliau pergi untuk mencari obat yang diperlukan. Dan saya sangat bisa merasakan bagaimana hancurnya perasaan beliau ketika itu, pada saat pulang dan melihat bendera putih di depan rumah. Beliau menangis? Tidak. Beliau bahkan menenangkan anak-anaknya yang menangis, dan mencoba untuk terlihat tegar hingga mengantarkan cinta sejatinya ke peristrahatan terakhir. Namun, di hari ketiga, sore itu hanya kami berdua di beranda rumah, dannnnnnn.... pecahlah tangis bapak, mengenang almarhumah Mama.
Sudahkah saya bilang kalau Bapak orang yang romantis? Mereka berdua sama-sama punya hobi menanam dan merawat tanaman. Baik itu bunga, ataupun pohon buah-buahan. Mama dan Bapak sering menghabiskan waktu bersama dipekarangan rumah mengurusi tanaman mereka atau berburu bunga/tanaman lainnya. Salah satu bunga kesukaan mereka berdua yaitu bunga Anggrek. Pada saat mama meninggal ada bunga anggrek yang sebentar lagi akan mekar. Dan beberapa hari berikutnya setelah benar-benar mekar, saya melihat bapak mengambil gunting, lalu mengguntingnya. Saya menegur kenapa digunting, kan bagus itu bunganya. Bapak bilang: “ini bunga yang sudah lama saya rawat bersama Mama mu. Dia sangat suka bunga Anggrek. Dan sekarang sudah berbunga, jadi saya mau bawa dan simpan di atas makamnya”.
(30 Days Writing Challenge)